Masjid  Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada  tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115  H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud  Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (memerintah tahun  1724-1758).
 Masjid ini pada zamannya adalah masjid yang terindah dan terbesar di Nusantara, dengan arsitektur khas yaitu atap limas. Masjid ini pendiriannya di bawah pengawasan arsitek Eropa, dengan mengimpor sebagian besar materialnya dari luar negeri, seperti marmer dan kaca. Penulis-penulis ataupun pelapor baik bangsa Belanda maupun Eropa lainnya sangat mengagumi perpaduan arsitektur khas dengan sentuhan arsitektur Cina dan teknik dari Barat. Sketsa di atas dibuat oleh pelukis Belanda dan sekarang menjadi salah satu dari koleksi Rijks Archief di 's-Gravenhage di bawah nama J.W. van Zanten (1822). Masjid tersebut dilukis dalam keadaan rusak berat, akibat perang Palembang-Belanda 1819 dan 1821.
Pada awalnya Masjid ini berukuran 1.080 m2 dengan kapasitas jamaah sebanyak kurang lebih 1.200 orang (untuk sirkulasi 20%). Kemudian sejak zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan perubahan-perubahan dan perkembangannya terus diadakan, sehingga keaslian Masjid hilang sama sekali.
Catatan lainnya
Masjid  Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada  tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian  pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26  Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas  1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama  dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid  Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah  pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia,  Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada  masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun  menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya  seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung  melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang  mengelilingi bagian badan. 
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang.  Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19  Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka  dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada  Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang. 
Dalam  sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat  kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh  Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin  Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan  memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.
Arsitektur 
Sultan  Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri  Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri  dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu  Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai  Tengkuruk, dan Sungai Kapuran. 
Tahap  pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya  masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud  Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk  segi enam setinggi sekitar 20 meter. 
Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.
Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.
Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng. Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.
Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.
Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.
Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng. Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.
Bangunan  Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x  36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang  berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan  mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang  melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari  candi. 
Bahan-bahan yang dipergunakan adalah  bahan kelas satu eks impor dari Eropa. Sulitnya mendatangkan material  bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di  resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada  awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di  buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan  penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar. 
Setelah  100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana  perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan  bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk  Doric.
Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan  masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah  serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya  seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan  pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara  beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada  tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m  dari atap.
Setelah  kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang  tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus  yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan  menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22  januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter,  bersegi.
12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri.
Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan.
Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.
12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri.
Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan.
Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.




0 komentar:
Posting Komentar